Seperti yang banyak orang ketahui hakekat politik adalah kekuasaan, Secara sederhana budaya politik dapat diibaratkan menyerupai ilmu pengetahuan, keyakinan, sikap, dan perilaku seseorang atau masyarakat terhadap proses politik. Proses politik terutama pada pengadaan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Inti kekuasaan politik terdapat pada kemampuan seseorang atau kelompok dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik. Bagaimana proses pelaksanaan kebijakan publik dapat dipahami dari kerja sistem politik yang dikembangkan oleh suatu organisasi negara.
Sistem politik itu bekerja untuk menjalankan proses merubah input yang merupakan tuntutan dan dukungan dalam proses pembuatan kebijakan publik yang berasal dari infrakstruktur politik seperti : partai politik, tokoh masyarakat, kelompok kepentingan, pers, serta rakyat yang menjadi out-put (kebijakan publik) yang diputuskan oleh politik lembaga negara yakni legislatif. Eksekutif yang menjalankan peran sebagai pelaksana penerapan kebijakan publik serta yudikatif yang berperan sebagai penegakkan kebijakan publik (penghakiman terhadap peraturan perundang-undangan).
Dengan kata yang lain budaya politik adalah pengetahuan, keyakinan, sikap, dan perilaku seseorang atau masyarakat terhadap sistem politik negaranya. Dengan pengertian atau pandangan yang sedemikian rupa, secara sederhana dapat digambarkan bahwa yang membedakan suatu pengertian budaya politik atau bukan, pada intinya terletak pada sasaran atau obyek budaya itu sendiri. Bila tujuan itu berupa proses politik atau sistem politik, maka itu merupakan budaya politik. Namun apabila tujuan itu berupa sesuatu yang bersifat non-politik, maka bukan termasuk dalam budaya politik. Walaupun hal-hal yang non-politik dapat berpengaruh kepada perilaku politik. Begitu pula sebaliknya hal-hal yang bersifat politik akan berpengaruh kepada hal-hal yang non politik.
Pengertian budaya politik menurut pandangan Larry Diamond, ahli politik yang menekuni bidang perkembangan demokrasi. Diamond dengan mengikuti serta memperhatikan perkembangan penelitian mengenai budaya politik yang dirintis oleh Almond & Verba, sampai pada titik kesimpulan bahwa budaya politik merupakan sikap, keyakinan, nilai, ide-ide, rasa sentimen, dan evaluasi suatu masyarakat tentang sistem politik nasionalnya yang berperan dari masing-masing individu dalam sistem itu. Onderdil atau bagian dari budaya politik dikalsifikasikan menjadi 3 golongan yaitu :
orientasi afektif yang merupakan perasaan – perasaan mengenai sistem politik.
orientasi kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan – keyakinan tentang sistem politik.
orientasi evaluasi yang meliputi komitmen pada nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan politik.
Dari ketiga orientasi diatas terdapat beberapa contoh yang bisa jadi rujukan untuk bahan pertimbangan, antara lain contohnya adalah:
Contoh orientasi afektif misalnya rasa optimis atau keyakinan bahwa Pilkada dapat memperoleh kepala daerah yang lebih berkualitas dan lebih dekat kepada rakyat, mengurangi money politics (jual beli suara) dari pada Pilkada yang tidak langsung yang dipilih oleh DPRD.
Sedangkan contoh orientasi evaluatif, misalnya : komitmen untuk mendukung pelaksanaan Pilkada langsung sesuai dengan aturan yang sudah dibuat, komitmen agar memberikan suara dalam Pilkada langsung.
Contoh orientasi kognitif antara lain pengetahuan tentang : Partai politik, Pemilu/Pilkada , fungsi DPR/DPRD, DPD, MPR, BPD. Contoh orientasi kognitif yang merupakan keyakinan kepada sistem politik antara lain : keyakinan bahwa, Partai politik, Pemilu/Pilkada, pers yang bebas, parlemen merupakan lembaga yang harus ada bagi sistem politik demokrasi.
Ketiga orientasi tersebut, tidak dapat dipisahkan satusama lain karna itu merupakan kesatuan dalam realitas, maksudnya penilaian terhadap sistem politik oleh kemampuan seseorang. Semua itu akan dipengaruhi oleh pengetahuan serta sikap yang dimiliki sebelumnya tentang politik.
Ketiga orientasi budaya politik itu juga merupakan bahan pandangan oleh seseorang untuk menilai politik yang ada. Apakah perilaku politik bersifat otoriter atau demokratis sangat dipengaruhi oleh orientasi kognitif, afektif dan evaluatif terhadap sistem politik. Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya politik merupakan pengetahuan, sikap dan penilaian terhadap sistem politik menjadi salah satu penentu perilaku politik masyarakat. Misalnya, seseorang yang kalah dalam pemilihan kepala desa/bupati/wali kota bisa lapangdada menerima kekalahan itu dengan tulus. Ia menilai bahwa pemilihan itu telah dijalankan secara bebas, adil nan jujur, dan adanya persaingan yang sehat. Perilaku calon kadidat yang kalah tersebut, masuk dalam sikap dan perilaku budaya politik demokrasi. Sebaliknya jika calon kadidat yang kalah tidak menerima kekalahan itu, kemudian karena kecewa lantas menggerakkan masa untuk menghajari para pendukung calon kepala desa/bupati/wali kota terpilih, sudah terlihat ini bukan merupakan perilaku dari budaya politik demokrasi tetapi merupakan perilaku dari budaya politik otoriter.
Dengan demikian, budaya politik itu sebenarnya cermin dari pengetahuan, kesadaran, sikap dan penilaian yang dapat bersifat positif atau negatif terhadap sistem politik. Karena sistem politik yang diusung oleh suatu negara secara baik dapat digolongkan kedalam sistem politik demokrasi atau otoriter, maka budaya politik itu bisa bersifat demokratis atau otoriter. Ketika dibandingkan dengan nilai-nilai budaya politik otoriter, gambaran tentang budaya politik demokrasi lebih mudah dipahami.
Tipe – tipe Budaya Politik yang Berkembang dalam Masyarakat Indonesia
Menurut pandangan Almond dan Verba sebagai pakar politik mengajukan 3 tipe budaya politik yang berkembang dalam suatu masyarakat/ bangsa, yaitu tipe partisipan, parohial (awak), subjek (kaula) dan campuran.
1) Tipe budaya politik partisipan.
Tipe budaya politik partisipan, berciri-ciri di mana seseorang atau masyarakat memiliki orientasi terhadap seluruh obyek politik secara keseluruhan input, output dan terhadap diri sendiri sebagai lakon politik. Ini berarti seseorang atau masyarakat bertipe budaya politik partisipan, disamping aktif memberikan masukkan kepada publik (input) juga aktif dalam implementasi pelaksanaan kebijakan publik (output). Dan Juga memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa dirinya sebagai lakon politik berkemampuan mempengaruhi kehidupan politik bangsa dan negaranya. Orang atau masyarakat yang bertipe budaya politik partisipan disamping berperan aktif dalam proses politik juga tunduk kepada hukum dan kewenangan pemerintah negara.
2) Tipe budaya politik parohial
Seseorang atau masyarakat yang bertipe budaya politik parohial berciri-ciri tidak memiliki orientasi atau pandangan sama sekali, baik berupa pengetahuan (kognisi), sikap (afeksi) dan penilaian evaluasi terhadap sistem politik. Ini berarti yang bersangkutan tersebut bersifat acuh tak acuh terhadap sistem politik. Sistem politik yang paling utama adalah pelaksanaan kebijakan publik. Contoh sistem politik yang lain dari objek politik adalah pemilihan Kepala Desa, pemilihan anggota BPD, Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota), pemilu DPRD, DPR, DPD dan Presiden, partai politik, kebebasan menyuarakan pendapat, kebebasan pers, dst. Tetapi meskipun tidak atau kurang peduli terhadap objek politik, seseorang/masyarakat yang bertipe budaya politik parohial, tetap peduli terhadap nilai-nilai primordial seperti adat istiadat, etnis dan agama.
3) Tipe budaya politik subjek .
Sedangkan seseorang/masyarakat yang bertipe budaya politik subjek, berciri-ciri memiliki orientasi terhadap output yaitu hasil pelaksanaan kebijakan publik yang sangat tinggi, tetapi orientasi terhadap input yaitu pembuatan kebijakan publik dan terhadap diri sendiri sebagai lakon politik sangat rendah. Ini berarti dalam tipe budaya politik subjek kepatuhan atau ketaatan yang tinggi terhadap berbagai macam peraturan pemerintah tetapi tidak disertai sikap kritis dengan kata lain peran yang dilakukan bersifat pasif.
4) Tipe budaya politik campuran
Dalam kenyataannya sulit ditemukan suatu masyarakat atau suatu bangsa berbudaya politik menurut satu tipe tertentu. Misal hanya berbudaya politik partisipan, atau subjek maupun parohial. Ini berarti sistem politik yang secara dominan berbudaya politik partisipan, di dalamnya juga memiliki budaya politik parohial dan subjek. Oleh karena itu yang kita temukan dalam budaya politik suatu masyarakat atau bangsa bersifat campuran. Ini berarti dalam masyarakat dapat kita temukan budaya politik campuran: parohial – partisipan, parohial – subjek, subjek – partisipan.
Nilai-nilai sosial yang dianut oleh masyarakat di indonesia berpengaruh terhadap budaya politik suatu bangsa. Misalnya, pada waktu akan menjadi negara merdeka, nilai - nilai sosial yang kuat sebagai warisan pada tahap sebelum merdeka itu feodalistik, maka budaya politik yang berkembang sangat dipengaruhi oleh feodalisme. Padahal, yang diharapkan dalam negara merdeka adalah budaya politik yang modern (demokratis) atau sistem politiknya secara dominan bertipe budaya politik partisipan.
Pada waktu sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia, sifat - sifat utama yang mendukung demokrasi telah dikenal dalam masyarakat. Bung Hatta menunjukkan pijakan budaya demokrasi itu adalah kedaulatan rakyat, yang sebenarnya tidaklah asing bagi rakyat Indonesia, karena tiga sifat utama yang dikandungnya, yaitu cita-cita protes massa, cita- cita rapat, cita-cita tolong menolong telah dikenal dalam demokrasi tua di tanah air kita ini. Didalam cita - cita rapat dan cita - cita massa protes dapat dibangun demokrasi politik, namun dalam cita - cita tolong menolong bisa menjadi dasar demokrasi ekonomi . Sedangkan Kuntowijoyo (1999) menyatakan ada 2 pusaka budaya politik bangsa yaitu budaya afirmatif (pengukuh kekuasaan) yang feodalistik yang merupakan tradisi politik Budi Utomo dan budaya politik critical (pemawas terhadap kekuasaan) yang demokratis sebagai tradisi politik Serikat Islam. Nurcholis Madjid didalam hal ini, "menggolongkan budaya pedalaman yang feodalistik serta budaya pesisir yang demokratis" .
Ketegangan yang terjalin antara budaya feodalistik dan budaya demokrasi yang dikembangkan tergambarkan dari perdebatan berikut ini. Misalnya, perdebatan antara dr. Soetatmo dengan dr. Tjipto Mangunkusumo tentang ikrar berbangsa satu bangsa Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia(Sumpah Pemuda 1928 ), pada tahun 1932. Dokter Soetatmo menyatakan, “nanti kalau kita terlepas dari kolonial belanda, kita akan mendirikan kerajaan Jawa. Sedangkan dr. Tjipto justru akan menciptakan atau mendirikan Indonesia Raya (Dari Sabang sampai Merauke”. Dengan kata lain , Soetatmo lebih melihat fenomena kenyataan bahwa dari segi budaya, budaya Jawa sejak zaman pergerakan nasional telah mendominasi indonesia. Sedangkan Tjipto, melihat dari segi kepentingan politik bahwa sebagai masyarakat majemuk Indonesia lebih pantas dikembangkan sebagai negara kesatuan yang menjunjung tinggi kemajemukan. Dan Negara yang menjunjung tinggi kemajemukan adalah Negara Demokratis.
Dengan demikian dapat dipetik, budaya politik demokrasi atau tipe budaya politik partisipan telah memiliki potensi sebelum kemerdekaan itu didapat, tetapi juga masih dibarengi dengan kuatnya paham feodalisme. Paham feodalisme merupakan kendala bagi pengem-bangan tipe budaya politik partisipan dalam masyarakat.
Sebaliknya menjadi ladang yang subur bagi perkembangan masyarakat berbudaya politik subjek, karena hubungan yang berkembang bersifat simbiosis-mutualisme. Begitu pun feodalisme dapat mendorong berkembangnya tipe budaya politik parohial, karena masyarakat itu dikelompokkan atas ‘wong gede’ dengan ‘wong cilik’. Solidaritas kelompok yang kuat bisa mendorong peran politik yang berkembang hanya sebatas berorientasi kepada ikatan organisasi.
Bagaimana dengan tipe budaya politik yang berkembang setelah Indonesia merdeka? Meskipun sebelum merdeka sudah dikenal budaya demokrasi, terbatas pada tataran masyarakat desa dan sebatas sebagai nilai- nilai sosial , bukan merupakan budaya politik sebab pada tataran penguasa atau raja yang berlaku budaya feodalistik. Budaya bangsa yang sangat berpengaruh secara kuat adalah budaya Jawa yang dikembangkan dari konsep kawula - gusti. Konsep kawula-gusti sangat fenomenal, lapisan masyarakat dibagi atas wong cilik (orang biasa) dan peng-gede (golongan penguasa), yang berkonsekuensi terjadinya perbedaan hak manusia dan kewajiban, dan perbedaan ini bersifat penentu atau merupakan takdir. Budaya yang terlahir dari konsep kawula-gusti bersifat feodalistik tidak demokratis.
Dalam proses selanjutnya, budaya nasional bukan budaya desa, merupakan budaya keraton yang feodalistiklah yang berkambang. Sehingga tidak berlebihan jika Soetandyo Wignyosoebroto sampai pada pendapat bahwa " Indonesia suatu negeri yang sesungguhnya tak memiliki tradisi demokrasi dengan kebebasan para warga masyarakat untuk mengeluarkan opini - opini guna mencadangkan alternatif - alternatif yang melawan kemapanan, dan untuk berserikat guna menggalang sinergi yang akan merealisasi opini - opini alternatif itu. Selain itu, Indonesia adalah suatu negeri yang sesungguhnya tak memiliki tradisi kultur politik yang egalitarian dengan hak - hak warga masyarakat untuk secara asasi diperlakukan tanpa diskriminasi apapun ".
Apa yang dikemukakan Soetandyo diatas, terlihat pada ketegangan ketika para pendiri negara menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka. Ketegangan yang dimaksud antara lain, tampak pada pemikiran yang menghendaki negara dominan diwakili Soekarno dan Soepomo, dengan yang berorientasi warga negara yang kuat (diwakili Hatta dan Yamin ). Pemikiran Soepomo tersebut, tergambar pada konsep negara integralistik. "Konsep negara integralistik diuraikan dengan menggunakan metafora keluarga, dan pada kenyataannya memang disebut sebagai negara - keluarga. Dalam keluarga ideal, anak-anak dipelihara dan dilindungi oleh orangtua dengan penuh rasa kasih sayang, mereka tidak membutuhkan perlindungan hak-hak asasi terhadap orangtua. Dalam negara integralistik yang dianjurkan oleh Soepomo pada tahun1945, rakyat tidak membutuhkan hak-hak asasi. Hak-hak tersebut dianggap sebagai perwujudan pemikiran individualistik yang menentang semangat kebersamaan keluarga".
Pergumulan tersebut, berakhir dengan kompromi. Hal itu, terlihat pada kandungan Konstitusi/UUD 1945 yang menempatkan negara pada posisi yang kuat, misalnya dianutnya sistem Presidensial, dan dimilikinya wewenang eksekutif bersama legislatif dalam membuat undang-undang dan dimasukkannya hak - kewajiban warga negara atau hak asasi manusia. Oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa yang diidealkan adalah kuatnya negara, harus tetap menjamin hak asasi manusia (HAM). Konsekuensi atas dijaminnya HAM, maka tidak lagi dikenal diskriminasi antara Gusti dengan kawula, yang ada adalah kedudukan mereka yang baru sebagai warga negara yang sebangsa yang bersifat sama derajatnya (egalitarian). Soepomo, sesungguhnya "telah meninggalkan pikiran negara persatuan negara menyatu dengan masyarakat sebagai kesatuan yang menyeluruh atau negara kekeluargaan, ketika dia terlibat dalam penyusunan UUD 1949 dan juga ketika memimpin Panitia Perancang UUD 1950 dengan tugas memasukkan esensi dari UUD 1945 ke dalam undang-undang dasar yang baru". Mengapa Soepomo, meninggalkan konsep negara integralistik yang diperjuangkannya?... Adnan Buyung Nasution (1995) menyatakan: "Kita bisa menduga bahwa waktu itu Soepomo telah belajar dari pengalaman selama adanya negara Indonesia bahwa penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM ternyata dapat juga dilakukan oleh orang-orang Indonesia".
Namun paham negara integralistik dalam perkembangannya masih cukup kuat berpengaruh dalam pemikiran politik penguasa di Indonesia, terutama ketika era orde baru. Adnan Buyung Nasution (1995), menyatakan konsep negara integralistik merupakan pengingkaran terhadap hakikat permasalahan negara konstitusional, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah pada hakekatnya selalu menjadi masalah dan ini berlaku universal, yang menuntut cara-cara khusus di bawah kondisi-kondisi modern untuk mencegahnya menjadi sewenang-wenang (despostis). Dengan kata lain, bahwa negara integralistik dimanapun cenderung berkembang menjadi negara yang otoriter yang sewenang wenang terhadap rakyatnya.
Memang diakui pada awal perjalanan negara Indonesia merdeka, ada kecenderungan budaya demokratis yang lebih berkembang dengan berlakunya demokrasi parlementer. Akan tetapi hal itu berjalan tidak begitu lama, bukan karena tidak cocoknya budaya demokrasi tetapi lebih disebabkan karena orang - orang partai politik lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok dari pada kepentingan rakyat banyak. Juga karena pada periode demokrasi parlementer dengan jatuh bangunnya pemerintah ditangkap sebagai cermin terjadinya semakin melemahnya negara, kondisi ini kemudian memunculkan kehendak terutama dari pemerintah yang berorientasi perlunya mengembangkan negara yang kuat. Orientasi pada negara yang kuat inilah yang pada akhirnya melahirkan demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin merupakan pemikiran tentang manunggalnya demokrasi dengan kepemimpinan. Pemikiran tersebut dapat dipahami dari pandangan Sutatmo Suriokusumo (1888-1924), yang menyatakan " agar tercapai masyarakat sama rata sama rasa tanpa merusak tata-tentrem-karta-raharja, demokrasi harus disertai kebijaksanaan (demokrasi enwijsheid).
Kebijaksanaan itu sendiri hanya bisa datang dari sang pandito yang telah melakukan tapa brata, dan sang pandito itulah yang memimpin keluarga atau negara". Tentang gambaran demokrasi terpimpin, Adnan Buyung Nasution (1995), menyatakan " Perlu ditambahkan bahwa konsep negara integralistik lebih berpengaruh di luar dari pada di dalam Konstituante. Demokrasi terpimpin telah dimulai pada tahun 1957 dengan Konsepsi presiden, dengan slogan bahwa semua anggota keluarga harus makan di satu meja dan bekerja di satu meja kerja untuk menganjurkan pembentukkan kabinet gotong royong, yang terdiri dari semua partai besar dan mewakili aliran pemikiran nasionalis, Islam, dan komunis. Demokrasi Terpimpin membenarkan penolakan sistem parlementer dengan asumsi bahwa melawan Pemerintah sama dengan menantang ayah sendiri. Konsep negara integralistik inilah yang akhirnya menggeser konsep negara konstitusional yang diperjuangkan oleh Konstituante dengan segala kekurangannya".
Dengan demikian pada masa demokrasi terpimpin budaya feodalistik memperoleh persemaian yang subur. Kondisi ini, berkelanjutan pada masa orde baru dimana lembaga kepresidenan sangat dominan bahkan ada kesan sakral dari kritik dan kontrol masyarakat.
Pada era reformasi, dengan amandemen UUD 1945, maka pengembangan kelembagaan negara terutama antara eksekutif dengan legislatif dikembangkan pada posisi yang sama kuat. Posisi yang sama kuat ini dimaksudkan dalam rangka pengembangan hubungan kelembagaan negara yang bersifat check and balance. Caranya Presdien tidak lagi dipilih oleh MPR tetapi di pilih oleh rakyat secara langsung. Kekuasaan membuat undang-undang berada di DPR, sedangkan eksekutif hanya sebatas berhak mengajukan RUU. Pengesahan UU oleh Presiden tidak mengikat secara hokum, karena apabila Presiden tidak mengesahkan dalam batas waktu yang telah ditentukan UU itu tetap berlaku.
Kelembagaan negara untuk mendukung negara demokrasi dan negara hukum juga berkembang dengan sangat pesat. Kita mengenal : Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pembrantasan Korupsi (KPK), Komisi Ombusmen Nasional. Begitu pun secara kelembagaan mulai diperkuat proses demokrasi, misalnya dengan Pilkada langsung, pemekaran provinsi maupun kabupaten. Tetapi ironisnya baik eksekutif maupun legislatif tampak semakin mengutamakan kelompoknya. Hal ini dapat dilihat pada berbagai kebijakan publik yang diambil tampak kurang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Menghadapi kondisi yang seperti itu rakyat tidak tinggal diam. Mereka kemudian merespon dengan berbagai aktivitas untuk memperjuangkan kepentingannya. Rakyat menuntut agar negara dikelola sesuai dengan tujuannya negara, yang paling penting yaitu mensejahterakan rakyatnya. Kondisi demikian ini yang tampaknya menyebabkan mengapa tipe budaya politik partisipan yang berkembang sejak tumbangnya peme-rintahan orde baru semakin menguat.
Dengan kata lain tipe budaya politik parohial dan tipe budaya politik subjek yang secara dominan berkembang pada masa sebelum era reformasi mulai bergeser ke arah berkembangnya tipe budaya politik partisipan. Bukti kearah berkembangnya tipe budaya politik partisipan dalam masyarakat dewasa ini, antara lain ditandai maraknya ; masyarakat memberikan input terhadap berbagai RUU. Seperti input masyarakat terhadap RUU Perlindungan terhadap Saksi, RUU Penyiaran, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, dsb. Begitu pula berbagai kritik, protes terhadap kebijakan pemerintah ketika menaikan BBM, impor beras, dsb.
No comments:
Post a Comment